Banci Sialan!




Gue bete sama banci, bencong, waria, semi-pria, semi-wanita, wanita mutant, atau apalah namanya. Ada yang salah dengan otak banci. Ada yang salah dengan bentuk banci. Ada yang salah dengan suara banci. Pokoknya gue kesel, sebel, bete!

Pagi itu dimulai seperti biasa. Bangun tidur, siap-siap ke sekolah buat TOEFL (termasuk mandi dan memakai baju. Gue WARAS), ngeliatin lomba paskibra yang kebetulan diadakan di sekolah gue, dan yang paling penting, JAJAN. Semuanya bener-bener normal sampe Lupita, temen gue, bilang gini "Bete ah di sekolah,". Terus gue tanya, "Lo mau pulang?"

"Nggak deh, gue mau ke Pamulang Square aja,"

"Ngapain?"

"Nyoba-nyobain Crocs"

"Nggak beli?"

"Nggak,"

"Najis lo,"

"Belinya entar aja bareng Salma,"

"Gue ikut deh,". Gue baru sadar kalo tadi gue najis-najisin dia. Tapi ternyata alam bawah sadar gue memutuskan untuk ikut. Apakah artinya gue najis? Apakah artinya gue ngatain diri gue sendiri? Apakah gue baru saja melakukan kesalahan yang fatal bagi masa depan gue? Bagi keluarga gue? Apakah diri gue akan merasa menyesal nanti? Apakah diri gue bakal kena karma? Apakah gue bisa berhenti bertanya dan melanjutkan postingan ini?

*Hening*

"Aku pengen ke Gramedia deeeeh," kata Lupita tiba-tiba.

"Gue juga nih. Ke Gramedia aja yuk," kata gue.

"Gramedia mana?"

"WTC"

“Oke,” akhirnya kita, dengan sangat labilnya, merubah rencana dan pergi ke WTC. Selamat tinggal Pamulang Square!!

Kita sampe di WTC sekitar jam setengah 12. Kita memutuskan untuk pergi ke Gramedia dulu. Pas lagi jalan ke escalator, tiba-tiba mata gue melihat sekelebatan monster lumut yang sangaaaaaat besar. Gue nyaris teriak-teriak soprano lebay sambil nunjuk-nunjuk tuh monster saat gue sadar ternyata monster lumut yang gue kira monster lumut tadi hanyalah seorang sales krim kulit.

“Boleh mba dicoba krimnya” kata tuh sales.

DEG! Suaranya… Ada apa dengan suaranya? Dia abis nelen kodok? Gue coba bertingkah senormal mungkin (nggak teriak-teriak soprano lebay sambil nunjuk-nunjuk tuh sales). Ah, mungkin gue salah denger.

“Krim herbal lho mba. Nggak ada efek sampingnya”

Gue nggak salah! Emang ada yang salah dengan suaranya! Najis! Nge-bass! Gue beranikan diri nengok ke arah tuh sales. Pemandangan yang gue lihat sungguh-sungguh merusak mata. Sales itu bertubuh bak lelaki. Tinggi dan besar. Dan kuku tangannya lho! Menurut penelitian gue, panjangnya lebih dari 5cm. Dan dengan garangnya, tangan besar itu menggenggam tangan Lupita, lalu mengoleskan krim putih dagangannya ke tangan Lupita!! TIDAAAAAKKK!!! (Lebay)

“Yah, yah, yah!” protes Lupita useless.

Singkat cerita, kita pun menjadi sandera banci ini. Kita udah nolak barang dagangannya dengan berbagai alasan ; “Kita bawa uangnya pas-pasan mba,” atau “Kita cuma dikasih uang buat beli buku,” atau “Ya udah nanti ya kita mau beli buku dulu di atas,” dengan perasaan ganjil yang aneh setiap kali kita mengucapkan kata “Mbak”. Karena makhluk mistis itu bukan “Mbak” sama sekali.

Setelah 15 menit, kita berhasil melarikan diri dari cengkraman maut. Kabur. Escape. Menyelamatkan diri. Menyambung hidup. Tapi yang bikin gue kesel tuh banci tiba-tiba bilang “Buat obat aja kok pelit sih?”. Sumpah! Gue hampir balik badan terus nyamperin dia sambil bawa-bawa ulekan terus teriak “EH!   BANCI! KOK LO NGAJAK RIBUT SIH?! SALES KOK MAKSA! DASAR BANCI! HOBBY-NYA NGEDUMEL! SINI LO ONE BY ONE SAMA GUE! NGOMONG KE GUE LANGSUNG!”. Tapi untungnya gue dianugrahi kesabaran yang luar biasa besar. Jadi gue sama Lupita cuma jalan lempeng sambil cekikikan.

Sumpah! Baru kali ini gue digituin sama sales. Banci pula!

Setelah beli buku di Gramedia, gue sama Lupita ke food court. Makan. Kita kelaperan. Apalagi habis ketemu banci. Sambil makan Lupita menyampaikan ketakutannya yang amat besar “Nanti pulangnya jangan lewat situ lagi ya umma. Lewat pintu yang lain aja. Aku males ketemu tuh banci lagi. Ntar kita diapa-apain, lagi,”

“Iya tenang aja,” jawab gue. Tapi jujur, gue masih bete sama tuh banci. Gue tipe cewe yang hobby nyimpen dendam. Mungkin karena hobby gue nonton film thriller.

Setelah capek muter-muter, kita memutuskan untuk pulang. Waktu itu sekitar jam 3. Di escalator turun, Lupita ngingetin gue lagi, “Umma jangan lewat situ lagi ya,”

“Tantangin yuk,” sifat iseng gue keluar.

“Ha? Gila lo! Gak mau ah”

“Ya udah gue aja, lo tunggu di depan”, Jadi bukannya lewat pintu yang ada di depan escalator, gue malah belok kiri, ke arah tuh banci.

“Umma! Umma! Ih umma!” Lupita manggilin gue. Bodo amat Lup, gue mau nantangin banci bentar. Batin gue. Hahaha.

Dan benar! Tuh banci manggil gue lagi. “Eh mba lagi, mau beli krim saya mba? Temennya mana satu lagi?”

“Temen saya kabur mba. Takut kali,” gue nggak berhenti jalan. Biar nggak dikira beneran nyamperin tuh banci. Lagi-lagi dugaan gue bener, dia nyamperin gue. Gue berhenti. Agak takut juga. “Misi dong, mau lewat nih,” kata gue sok berani.

“Tadi katanya mau beli?” kata banci.

“Nggak, kata siapa?” bantah gue. Gue langsung nyari celah, terus kabur. Bukan kabur sambil lari-lari terus teriak “TOLOOOONG!! GUE DI KEJAR-KEJAR BANCI!!! SELAMATKAN GUE!!!”  melainkan cuma jalan dengan santai. Gue ngerasa keren *Blushing*.

Di lobi gue ketemu sama Lupita. “Lupita!” panggil gue sambil cekikikan.

“Gila lo ngapain deh? Gue ngeliat lo dihalang-halangin gitu tadi!” kata Lupita. Gue masih cekikikan.

Walapun tadi sempet bete gara-gara tuh banci, tapi paling nggak, gue berhasil bales dendam. Tuh banci pasti nyesek. Hahahahaha.