Ya! Joyonghi Eunkyung-ah!


Cast :

  • iDolls Song Eunkyung (Profile)
  • UKiss Eli
  • iDolls Han Yongjin (Profile)
  • SHINee Kim Jonghyun
Genre :
  • Friendship
  • Romance
Preview :
“Semua ini gara-gara setan cilik penjilat bernama Yongjin. Dia itu… Menyusahkan saja! Dasar setan cilik,” gumam Eli geram.


“Aish, disaat-saat seperti ini kenapa harus ada gangguan, sih?” Eli merapatkan jaket hitam tebalnya. Dinginnya hembusan angin musim gugur membuatnya sedikit menggigil. Padahal namja itu sudah mengenakan pakaian 4 lapis ditambah sebuah syal.

“Semua ini gara-gara setan cilik penjilat bernama Yongjin. Dia itu… Menyusahkan saja! Dasar setan cilik,” gumam Eli geram.


-FLASHBACK-

“Yeoboseyo,”

“ELI OPPA!!” teriak Yongjin dari seberang telfon.

Eli reflek menjauhkan handphone-nya dari telinga sambil meringis.”Yongjin-ah”

“Eli oppa sedang apa?”

“Aku sedang mengerjakan tugas kuliahku. Wae?”

“Anniyo, oppa tahu kan nama namjachingu-ku?”

“Jonghyun?”

“Ne, Jonghyun. Kim Jonghyun. Oppa tahu? Aku sayaaaaaaang banget sama dia.”

“Ha?” Eli mulai bingung. “Lalu apa hubugannya denganku?”

“Tadi aku diajak jalan sama Jonghyun oppa. Kalau seandainya oppa jadi aku, apa yang akan oppa lakukan?” pancing Yongjin.

“Mwo? Yah, tentu saja aku akan menyetujui ajakannya.”

“Jeongmalyo? Aku juga berfikir seperti itu. Tapi… eonni-ku…”

“Eunkyung? Dia tidak mengizinkanmu?”

“Anniyo, tapi eomma sama appa lagi pergi ke luar kota. Di rumah hanya ada aku dan Eunkyung eonni.”

Apa sih maksud yeoja ini? Batin Eli. “Lalu?”

“Aku ingin sekali malam ini bisa menghabiskan waktu dengan Jonghyun oppa. Tapi di sisi lain, aku tidak tega meninggalkan eonni-ku sendirian menjaga rumah. Aku takut terjadi apa-apa padanya. Aku bingung oppa. Semenjak kuliah, Jonghyun oppa sangat sibuk dengan jadwal kuliahnya. Jarang-jarang dia bisa meluangkan waktu untukku. Tapi kalau aku pergi dengannya, siapa yang akan menemani eonni-ku? Na eotteohkaeyo oppa… Hiks…”

“Ya. Ya! Yongjin-ah! Kau menangis? Aigoo, ya! Yongjin-ah! Uljima! Ada yang bisa kubantu?”

“Oppa mau membantuku?” tanya Yongjin bersemangat.

“N-ne,” Eli menjawab dengan ragu. Sedikit menyesali tawarannya.

“Oppa tidak mungkin menggantikanku bertemu dengan Jonghyun oppa. Tapi, oppa bisa menggantikanku menjaga rumah. Sekaligus menemani eonni-ku, iya kan?”

“Mwo?! Apa tidak salah? Tapi… Tugas-tugasku…”

“Jadi oppa tidak mau membantuku?” Yongjin mulai menangis lagi. “Baiklah, aku tahu oppa sibuk. Aku akan membatalkan *Hiks* janjiku dengan *Hiks* dengan Jonghyun oppa,” tangis Yongjin bertambah keras.

“Ya! Ya! Yongjin-ah! Bukan itu maksudku,”

“Berarti oppa mau membantuku?”

“Ne, tapi…”

“Tapi?”

“Umurnya 17 tahun!”

“Umur Eli oppa 18 tahun,” jawab Yongjin polos.

“Aku tahu,”

“Oppa lebih tua dari eonni-ku”

“Ne, Yongjin, aku tahu…” Eli mulai kehilangan kesabarannya.

“Jadi oppa bisa menjaga eonni-ku. Lagipula, rumah oppa kan hanya beberapa blok saja dari rumah kami. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tugas-tugas oppa kerjakan saja di sini. Eli oppa bersedia membantuku kan?”

“Ne,” jawab Eli lemas. Dia tidak punya pilihan selain mengiyakan permintaan Yongjin.

“Gomawoyo oppa! Anyeong~!”

Eli tidak menjawab, melainkan langsung mengakhiri panggilan. “Haaah, nan michigeutda!”
SEMENTARA ITU…
             
Yongjin menatap dirinya di cermin, “Yongjin-ah, acting-mu makin bagus saja, hihihi.” Ia langsung menelfon namjachingu-nya. “Jonghyun oppa! Oppa jadi menjemputku jam 7 malam nanti?... Ne… Annyeong."

-FLASHBACK END-
           
TING! TONG!
               
Eli menekan bell apartment di hadapannya, apartment Eunkyung dan Yongjin.
               
“Ne! Sebentar!” Eunkyung tidak mengalihkan perhatiannya dari PSP-nya.
               
TING! TONG! TING! TONG!
               
“Aish! Siapa sih?” Eunkyung menghentakkan kakinya menuju pintu depan. Namun saat melihat siapa yang berdiri dihadapannya, Eunkyung berteriak dan menutup pintunya dengan keras.
              
 “Mwo? Yeoja ini kenapa sih?” gumam Eli. Di memencet bell sekali lagi.
               
TING! TONG!
               
Eunkyung membuka pintunya beberapa senti, “Annyeonghaseyo, sunbae-nim, ada perlu apa?”
               
“Mwo? Sejak kapan kau berbicara dengan sopan kepadaku? Yongjin yang menyuruhku ke sini. Dia memintaku untuk menemanimu menjaga rumah.”
               
“Yongjin?!” Eunkyung membuka pintu lebih lebar. “Anak itu! Pantas saja tadi dia bilang “Sudah diatur” “Sudah diatur”! Ternyata ini maksudnya? Kau mati Yongjin-ah!” Tapi bukannya menyilahkan tamunya masuk, yeoja itu malah menutup kembali pintunya dan menelfon Yongjin.
               
“Yong. Itu ada telfon,” Jonghyun yang sedang menyetir memberitahu Yongjin yang sedang asik memperhatikan lampu merah(?).
               
“Handphone-ku mana?”
               
“Di tas-mu Yong.”
               
“Oh iya,” Yongjin menjawab telfonnya, “Yeoboseyo Eonni-ah.”
               
“YA! BABO YA!”Suara Eunkyung menggelegar. “Yongjin-ah! Berani-beraninya kau… BLA BLA BLA…” Eunkyung ngomel panjang lebar.
               
Yongjin yang malas mendengar ocehan Eonni-nya meletakkan handphone-nya begitu saja dipangkuannya. Ia kembali memperhatikan lampu merah yang dari tadi masih menyala.

5 MENIT KEMUDIAN

“… Kenapa harus dia? Dia sunbae-ku!” Eunkyung mengakhiri omelannya.
               
“Eonni-ku yang cantik, aku punya 2 alasan. Pertama, dia senior eonni di SMP dulu. Jadi eonni pasti segan dan akan mengurangi dosis ocehan yang biasa eonni hasilkan.”
               
Hening, Eunkyung tidak menyahut.
               
“Kedua, Eli oppa itu pendiam. Jadi kalau-pun dosis ocehan eonni tidak berkurang, paling tidak apartment kita nggak berisik-berisik banget. Araso? Sekarang jangan ganggu kencanku dengan Jonghyun oppa dulu eonni. Jebal. Annyeong eonni,”
              
 Eunkyung tidak menjawab. Dalam hati dia membenarkan alasan Yongjin.
               
TOK! TOK! TOK!
              
Eunkyung terlonjak kaget. Astaga! Makhluk itu masih di luar! Buru-buru Eunkyung membuka pintu apartment-nya. “Eli oppa! udah nunggu dari tadi ya? Silahkan masuk.” Kata Eunkyung sedikit absurd tetapi riang(?)
               
Yeoja aneh, batin Eli. Dia melangkahkan kakinya ke dalam apartment itu. Tempat itu masih seperti dulu saat pertama kali Eli datang. Tidak ada yang berubah. Eli dulu memang sering datang ke rumah ini untuk menyelesaikan tugas akhir sekolahnya. Eli dulu sangat suka memasak. Jadi dia membuat essay tentang Chef. Dia masih ingat saat dia dulu berbincang-bincang dengan ayah Eunkyung yang seorang chef. Duduk di ruang tamu dengan ditemani segelas jus jeruk dan cookies enak buatan ayah Eunkyung. Kadang Eunkyung duduk menemani mereka sambil memainkan PSP-nya dan marah-marah kalau dia kalah sambil menyalahkan ayahnya dan Eli dengan dalih bahwa dia kalah karena mereka terlalu berisik. Biasanya ayah Eunkyung hanya tertawa.
               
Menurut Eli sebenarnya Eunkyung adalah orang yang menyenangkan. Lincah dan riang. Tapi sayang dia sangat berisik dan cerewet.
              
 Eli langsung duduk di sofa, menyalakan laptop-nya dan melanjutkan tugasnya. Dia sedikit kesal karena sudah menunggu di luar cukup lama. Padahal dia harus segera menyelesaikan tugasnya.
               
“Eli oppa mau minum apa?” tanya Eunkyung.
              
 “Terserah,”
               
“Okay,” jawab Eunkyung riang. Dia langsung pergi ke dapur dan kembali dengan segelas jus jeruk dingin. Setelah meletakkan jus jeruk di atas meja, Eunkyung kembali berkutat dengan PSP-nya sambil tidur-tiduran di sofa.
               
15 menit mereka lalui dengan diam. Yang terdengar hanya suara jari Eli yang sedang mengetik dan suara music dari PSP Eunkyung. Suasana seperti inilah yang Eli harapkan. Tenang dan damai tanpa ocehan dari mulut Eunkyung. Jadi ia bisa berkonsentrasi dengan tugasnya.
               
“Aku bosan,” Eunkyung mematikan PSP-nya dan meletakkannya di atas meja.
              
 Sial…
              
 Eunkyung memerhatikan Eli dengan sorot mata ingin tahu. “Eli oppa sedang apa?”
               
“Mengerjakan tugas. Jangan ganggu aku dulu.” Jawab Eli singkat.
               
“Geurae…” Eunkyung diam. Dia kembali berbaring sambil memainkan handphone-nya. Tidak sengaja matanya melihat ke arah jendela sekilas. “Hujan!” gumamnya. “Eli oppa?” panggil yeoja itu.
               
“Hn?” Eli tidak mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya.
               
“Hujan,”
               
“Araso,”
               
“Aku benci hujan,” Eunkyung kembali duduk menghadap Eli. “Yah, memang sih aku pernah bilang kalau aku suka hujan. Aku memang suka hujan. Tapi bukan di musim gugur seperti ini. Musim gugur kan udah dingin. Di tambah hujan. Jadi tambah dingin. Aku juga suka dingin. Tapi bukan dingin yang menusuk tulang seperti sekarang ini. Tapi dingin sejuk gitu. Oppa tau kan? Aku benci banget sama yang namanya panas. Kalau sedang musim panas, aku lebih memilih untuk bersantai-santai di rumah. Yah, aku tau itu saatnya liburan. Tapi kan panas. Ya kan? Biasanya aku hanya keluar rumah kalau sedang ada janji dengan teman. Itu pun aku bisa menolaknya kalau sedang malas keluar. Dan biasanya teman-temanku itu tidak marah karena mereka semua tahu kalau aku tidak suka panas. Atau kalau sedang ada acara keluarga. Kalau itu sih aku nggak bisa nolak. Pasti dipaksa ikut sama eomma. Oppa suka musim apa?” ocehan Eunkyung berhenti.
               
Eli baru akan membuka mulutnya untuk menjawab saat Eunkyung melanjutkan celotahannya. “Pasti oppa suka musim dingin kan? Soalnya musim dingin itu identik banget sama Eli oppa. Dingin, cool, dan sedikit misterius. Tapi aku nggak tau sih di mana letak kemisteriusan musim dingin, hahaha. Tapi oppa lahir di musim semi. 13 Maret itu musim semi kan? Oppa suka musim semi? Nggak mungkin oppa suka musim semi. Musim semi itu nggak identik sama Eli oppa,” Eunkyung berhenti sebentar.
               
Sudah? Sudah selesai? Ocehannya sudah selesai? Semoga begitu. Batin Eli.
               
“Kalau aku, aku sangat suka musim semi.”
              
 Ternyata penderitaan Eli belum berakhir…
               
“Kalau musim semi datang, bunga-bunga di taman belakang pasti bermekaran. Indah sekali. Aku hanya bisa melihat keindahan bunga-bunga itu pada musim semi. Soalnya aku dan eomma hanya menanam bunga musim semi. Eomma juga menyukai musim semi sepertiku. Kata appa, aku memang anak eomma-ku. Banyak sekali sifat eomma yang diturunkan kepadaku. Termasuk soal musim dan bunga tadi. Kalau Yongjin, dia sangat mirip appa. Mulai dari makanan kesukaan sampai cara tertawa. Kecuali kemampuan untuk memasak. Masakan Yongjin lebih mirip racun serangga yang mematikan. Sepertinya kemampuan memasak appa akan diturunkan kepadaku. Yah, walaupun kemampuan memasakku belum semahir appa. Tapi paling tidak, aku lebih mahir dari pada Yongjin. Ya kan?” Eunkyung diam sebentar. Eli berusaha fokus ke tugasnya. “Oh, iya, balik ke topik bunga tadi. Bunga musim semi yang aku maksud tadi itu, ya bunga-bunga yang hanya bisa mekar di musim semi. Seperti apple blossom, cherry blossom, lily, cosmos, flannel-bunga flannel lho, bukan kain flannel-, geranium, jasmine, orchids, mawar, tulip, oh! Ada tanaman yang namanya glory of the snow! Bunga tanaman ini adalah bunga yang pertama kali mekar di musim semi. Oppa harus lihat! Indah sekali. Warnanya gradasi antara putih dan ungu. Bunga ungu adalah yang terindah menurutku. Seperti bluebell flower. Walaupun namanya bluebell, bunga itu berwarna ungu. Aku suka sekalu warna ungu. Terutama ungu soft, warna itu mengingatkanku pada es krim blueberry buatan appa. Es krim yang nggak ada duanya. Apalagi kalau dimakan di musim panas. Oppa suka warna apa?” tanya Eunkyung.
               
“Hitam,” jawab Eli.
               
“Hitam? Menurutku hitam itu bukan warna. Hitam itu terlalu simple. Dan melambangkan kesedihan, kematian, dan sedikit gothic. Merah juga warna gothic. Tapi gwaenchanayo, aku juga sedikit menyukai gothic. Temanku ada yang sangat mencintai gothic. Namanya…”
               
“Eunkyung-ah,” sela Eli. Dia harus menghentikan siksaan ini.
              
 “Ne oppa?”
               
“Ayo bermain. Aku punya permainan.”
              
 “Jeongmalyo? Ayo! Ayo! Permainan apa?” tanya Eunkyung antusias.
              
 “Namanya Silence Game. Yang paling lama diam, dia yang menang.”
              
 “Andwae! Aku selalu kalah kalau main permainan itu. Bahkan saat melawan Dongho, aku kalah. Padahal dia hanya anak kecil!”
               
Kau dan Dongho seumuran, babo yeoja! Batin Eli. “Kau mau main atau tidak?” desak Eli.
               
Eunkyung menganggukkan kepalanya. “Baiklah.”
               
“Dihitungan ketiga ya. Satu… Dua… Tiga!”
              
 “Permainan” pun dimulai. Eli menghela nafas lega. Akhirnya dia bisa membuat Eunkyung diam. Namja itu tersenyum bangga pada dirinya sendiri sambil meneruskan pekerjaannya.
               
Tapi ketenangan yang indah itu hanya berlangsung selama 20 menit.
               
“AAAAHH!! Michigetda! Aku nggak bisa diam selama itu! Aku mengaku kalah. Kali ini oppa yang menang. Nanti aku traktir es krim. Tapi oppa curang! Oppa tau aku selalu kalah kalau memainkan permainan itu! Permainan itu kenapa sulit sekali ya? Kok oppa bisa sih diam selama itu? Lain kali kalau mau main, aku yang memilih permainannya biar adil. Aku sangat mahir di beberapa permainan. Seperti…” Eunkyung malanjutkan dongengnya.
               
Eli melihat jam yang ada di layar laptopnya. Jam 8 malam. Yongjin-ah~ cepat pulang~ batin Eli putus asa.
               
Di tengah-tengah ocehan Eunkyung, lampu berkedip, lalu mati. Disusul dengan matinya laptop Eli dikarenakan lowbatt. Eunkyung seketika terdiam.
               
Mati lampu. Gawat.
              
Apartment itu sekarang gelap gulita.
               
“Ah, sial laptop-ku mati. Untung aku sempat menyimpan datanya tadi. Eunkyung-ah, nyalakan lilin dong. Gelap nih.”
               
Eunkyung tidak menjawab.
               
“Aish. Jeomal! Eli berdiri dan menuju dapur sambil merapat ke tembok. Ia berjalan sambil meraba-raba. Pencariannya tidak membuahkan hasil. Pertama karena gelap, kedua karena dia tidak tau di mana yeoja sinting itu meletakkan lilinnya. Jadi dia memutuskan untuk menelfon Yongjin.
SEMENTARA ITU, DI RESTORAN JEPANG...
               
“Yeoboseyo, Eli oppa.” Yongjin menjawab telfon dengan malas.
               
“Di mana kalian meletakkan lilin dan korek?”
              
 “Di atas kulkas. Waeyo?”
               
“Mati lampu. Dan eonni sinting-mu itu tidak mau menyalakan lilin.” Kata Eli sambil mengambil lilin dan korek di atas kulkas. Dapat! “Dia cerewetnya belum hilang juga. Padahal sudah hampir 3 tahun.”
              
“Sebentar, tadi oppa bilang apa?” Yongjin terdengar panik.
               
“Dia cerewet.”
               
“Bukan! Soal lampu!”
               
“Mati lampu.”
               
“MWO?!” teriak Yongjin. Jonghyun yang sedang menikmati sushi-nya tersedak. Yongjin segera mengangsurkan segelas air. “Mati lampu?! Omo! Omo! Dia menderita Myctophobia dan Sciophobia!”
               
“Mwo?” tanya Eli bingung.
               
“Dia phobia kegelapan! Biasanya kalau phobianya kumat, phobianya terhadap bayangan juga ikutan kumat! Gawat!”
               
“Jadi aku harus bagaimana?”
              
 “Bagaimana apanya? Ya oppa harus nenangin dia! Jangan sampai dia histeris! Atau kita semua terpaksa harus berurusan sama psikolog lagi! Araso? Fighting!” Yongjin memutuskan panggilan.
               
Eli segera menuju ruang tamu sambil membawa sebatang lilin, piring kecil, dan korek.
               
“Eunkyung?” panggil Eli. Eunkyung tidak menjawab. Eukyung yang pendiam ternyata lebih menakutkan dari pada Eunkyung yang cerewet.
               
Eli melihat siluet Eunkyung yang sedang duduk di sofa. Tangannya terlipat di depan dadanya. Ia memeluk dirinya sendiri. Jelas sangat ketakutan.
              
 “Eunkyung-ah? Kau takut?” tanya Eli.
              
 “Anni.” bisik Eunkyung berbohong.
              
 Eli berlutut di lantai di sebelah Eunkyung. “Aku akan menyalakan lilin. Jangan takut.” Dengan cepat dia menyalakan lilin itu dan mendirikannya di atas piring kecil yang ia bawa tadi.
               
Lilin pun menyala. Eli segera menatap Eunkyung. Wajahnya sepucat mayat dan tubuhnya gemetar. Eli duduk di sebelahnya. Menggenggam kedua tangan Eunkyung yang sedingin es dan meletakkannya dipangkuannya.
              
 “Sekarang sudah sedikit terang. Jangan takut.” Eli berusaha menenangkan Eunkyung.
               
Tiba-tiba Eunkyung mengangkat tangan kanannya yang gemetar hebat. Dia menunjuk ke arah tembok. Nafasnya ngos-ngosan.
               
Eli mengikuti  arah yang ditunjuk Eunkyung. Lilin yang dinyalakannya tadi menimbulkan bayangan yang menari-nari di tembok. Gawat! Batin Eli.
               
Eunkyung menarik nafas panjang. Bersiap-siap untuk teriak. “YYAA…!” Eli segera membekap muka Eunkyung dengan bantal sofa. Jadi teriakkannya sedikit teredam.
               
Setelah teriakan Eunkyung berhenti, Eli langsung meniup lilin dihadapannya dan segera memeluk Eunkyung. Membenamkan muka yeoja itu ke dadanya. Tubuh Yeoja itu lemas. Tangannya yang masih gemetar berusaha memeluk pinggang Eli.
             
“Sudah, jangan takut. Pejamkan saja matamu. Tidak ada apa-apa. Aku ada si sini. Kau aman. Aku akan menjagamu.” Kata Eli menenangkan.
               
Eunkyung menganggukkan kepalanya. Memeluk Eli membuat Eunkyung sedikit tenang. Tak lama kemudian, yeoja itu tertidur di pelukan Eli.

***
               
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Langkah Yongjin berderap di lorong. Yongjin membuka pintu apartment-nya dan melangkah masuk. Lampu sudah menyala setengah jam yang lalu. Matanya langsung menatap Eli yang sedang melanjutkan tugasnya. “Kenapa pintu nggak oppa kunci?”
               
“Nggak akan ada yang masuk.” Jawab Eli singkat. Masih menekuni laptopnya.
              
 “Eonni! Tadi dia histeris nggak?! Astaga! Aku panik sekali.”
               
Eli menunjuk ke arah Eunkyung yang sedang tertidur di sofa.
              
 “Astaga! Dia bisa tidur? Dia tidur atau pingsan?! Oppa sudah memberinya air putih?”
              
 “Berisik sekali!” Eunkyung terbangun. “Ya! Yongjin-ah! Ke mana saja kau? Mana Jonghyun oppa?”
               
“Dia sudah pulang,” Jawab Yongjin.
               
“Enak saja main pulang seenaknya! Memangnya dia tidak mau bertemu denganku? Napeun namja!” omel Eunkyung.
               
Syukurlah Eunkyung sudah bisa berceloteh lagi. Batin Eli senang.
               
“Sudahlah eonni jangan ngomel-ngomel terus. Ini aku beli cheese pizza untuk kalian berdua.”
               
“Baguslah. Aku lapar,” kata Eunkyung.
               
Setelah menghabiskan pizza yang dibawa Yongjin, Eli pamit pulang. Yongjin mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Eunkyung mengantarkan Eli sampai lobi bawah.
              
 “Aku pulang dulu Eunkyung-ah,” kata Eli.
              
 Eunkyung mengangguk. “Oppa?”
               
“Hn?”
              
 “Gomawoyo oppa sudah mau menemaniku tadi.”
               
“Sama-sama Eunkyung-ah” Eli tersenyum.
              
 “Soal phobia-ku, oppa bisa merahasiakannya?”
               
Eli mengangguk.
               
Eunkyung tersenyum senang lalu mencium pipi kanan Eli. Eli terlonjak kaget. “Annyeong oppa!” kata Eunkyung riang lalu berbalik dan berlari menuju lift.
               
Sepeninggal Eunkyung. Eli memegang pipi kanannya. Ia tersenyum, berbalik dan berjalan menuju rumahnya dengan langkah ringan.

-TAMAT-